Bab 208
Bab 208
Ruang Untukmu
Bab 208
Tasya sudah lama ingin membeli gelas sekali pakai, ictapi dia selalu lupa. Sampai sekarang, entah sudah berapa kali dia minum dari gelas yang sama dengan Elan.
Lamunannya buvar saat ponselnya tiba–tiba berdering. Dia mengambil ponsel dan menjawab panggilan itu setelah melihat nama yang tertera di layar. “Halo, Nona Citra.”
“Nona Tasya, ada kabar bagus! Total penjualan hari ini mencapai tiga puluh miliar. Pelanggan memang tidak datang berbondong–bondong sekaligus, tetapi mereka semua membeli perhiasan yang harganya lebih dari dua miliar. Sejak bekerja di sini, aku belum pernah mengalami hal yang mengejutkan seperti ini!”
Mata indah Tasya dipenuhi keterkejutan ketika dia mendengar kabar itu. Dia bingung mengapa para pelanggan itu mengunjungi tokonya. Dia yakin dia tidak meminta bantuan teman atau keluarganya. Terlebih lagi, dia belum mengiklankan toko dan produknya. Masa iya, mereka datang ke tokonya secara kebetulan?
Dia tentu saja senang dengan perubahan situasi ini. Dia ingin percaya kalau takdir memang sedang berpihak padanya. Saat angin malam mulai bertiup, dia tiba–tiba teringat sekarang sudah mulai masuk musim hujan. Dia pulang ke Indonesia pada bulan Agustus dan dalam sekejap sudah hampir bulan November.
Terlalu banyak hal yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Di antara semua hal itu, kehadiran Elan di dalam hidupnyalah yang paling berkesan. Pria itu muncul tanpa aba–aba seperti badai yang tidak bisa diantisipasi oleh siapa pun. Pria itu juga sangat menuntut sampai sampai tidak menerima penolakan dari Tasya.
Hal yang paling membuat wanita itu frustrasi, mungkin, adalah Elan berhasil membuatnya merasa seperti sedang dilahap api, tetapi dia sama sekali tidak berkeberatan. Dia ingin Elan terus melakukan semua itu padanya; dia ingin kesenangan itu terus menjalar dalam dirinya dan melahapnya. Apa aku sebegitu frustrasinya karena mendambakan sentuhan seorang pria?
Dia mulai bertanya–tanya apakah rasa kesepian membuatnya merasakan dorongan seperti itu setiap kali mereka sedang berdua. Dia juga penasaran apakah dia akan tetap merasa begitu andai saja dia bersama pria selain Elan. Kalau iya, itu artinya dia hanya kesepian dan perasaan itu tidak ada kaitannya dengan karisma seorang Elan Prapanca.
Tiba–tiba Tasya jadi ingin menemukan pria baik yang dia sukai dan menjalin hubungan. Mungkin saja itu hanya hubungan platonik, tetapi itu seharusnya cukup untuk mengalihkan perhatiannya dari efek yang diberikan Elan pada hatinya. Dengan begitu, dia tidak akan memikirkan Elan setiap saat. Dia takut akan jadi terlalu bergantung pada pria itu suatu hari nanti.
Elan kembali ke apartemen dengan Jodi di belakangnya sekitar pukul sembilan. Anak itu sudah basah kuyup oleh keringainya sendiri, tetapi dia jelas sudah bersenang–senang saat bermain. Dia pun berbalik untuk menatap Elan dengan serius, lalu berkata, “Om Elan, ajak aku ke taman bermain lagi besok, ya! Aku mau coba main di uang gelantung!”
“Iya, aku janji besok kita main lagi,” jawab Elan sambil tersenyum hangat.
Tasya menghampiri mereka dan berkata, “Jodi, Om Elan tidak bisa datang setiap hari cuma untuk bermain denganmu. Dia sibuk dan kita tidak boleh membuang waktunya, oke?”
Sesaat setelah mengatakan itu, Tasya bisa merasakan tatapan tajam tertuju ke arahnya.
Elan adalah pria yang sensiuf. Meskipun Tasya tidak terang–terangan, pria itu paham makna tersembunyi di balik ucapannya. Wanita itu sengaja membuat batasan agar Elan tidak terlalu dekat dengan anaknya.
“Begitu, ya? Baik, Ma,” jawab Jodi seraya mengangguk patuh.
Wanita itu meraih tangan putranya dan berkata, “Ayo, ambil piamamu. Setelah itu, Mama mandikan.”
Anak itu pergi ke kamarnya untuk melakukan apa yang diperintahkan sang ibu.
Tasya berbalik dan melihat Elan mengambil segelas penuh air minum dan menenggaknya. Wanita itu tersipu dan memutuskan untuk membelikan Elan cangkir sendiri kalau dia akan sering datang ke rumah.
“Pak Elan, ini sudah malam. Kamu harus pulang,” dia mengingatkan dengan tegas, tetapi sopan.
“Kenapa kamu terus memanggilku Pak Elan? Panggil dengan namaku saja kalau kita sedang berdua,” katanya dengan nada kesal. Dia tidak suka karena wanita itu berusaha menjaga formalitas dengannya.
Sorot mata Tasya tajam saat dia berkata, “Tidak mau. Sejauh yang aku tahu, kamu adalah atasanku dan begitulah aku memperlakukanmu.” This content is © NôvelDrama.Org.
Elan terkadang merasa wanita itu menjengkelkan: Dia tidak bisa menceramahi atau sekadar berdebat dengannya. Dia bahkan tidak bisa berkata–kata terlalu keras karena takut Tasya akan membalasnya dengan bersikap pasif agresif. Namun, entah mengapa, Elan bisa sangat sabar menghadapinya bahkan saat wanita itu membentaknya atau bersikap keras kepala.
“Kalau begitu, aku pergi dahulu. Hubungi aku kalau butuh apa–apa,” katanya. Saat pria itu berjalan ke arahnya, dada Tasya menegang. Untungnya, Elan tidak melakukan apa–apa dan hanya membuka pintu sebelum pergi dari sana.
Tasya menghela napas lega ketika pintu di belakangnya tertutup. Kemudian, dia memandikan Jodi, menggendongnya ke tempat tidur, dan membacakan dongeng pengantar tidur. Akhirnya, anak itu pun
tertidur nyenyak di pelukannya.
Hanya pada saat–saat seperti itulah dia bisa menatap wajah mungil putranya dan membiarkan pikirannya melayang untuk beberapa saat.
Previous Chapter
Next Chapter