Bab 239
Bab 239
Bab 239
Seperti kata pepatah lama, senasih sepenanggungan.
Walaupun nasibriya sendiri masih tidak pasti, tetapi bagaimanapun juga dia telah memperoleh Buah Darah Naga, jika dimasukkan ke dalam ramuan obat Raisa, maka Raisa akan sembuh.
Samara menutup kotak kayu tersebut seraya menempelkan erat di dalam pelukan, dan memejam mata perlahan–lahan.
Saat dia membuka matanya yang bulat, terpancar sebuah sinar tajam.
Masih ada banyak hal yang harus dilakukannya!
Dia masih memiliki Javier dan Xavier, bahkan Oliver dan Olivia juga memerlukan dampingannya!
Nyawanya tidak boleh hilang di sini.
Samara kembali menulis sebuah memo berisi daftar peralatan, lalu meminta pelayan wanita untuk menyerahkan memo itu pada Pak Damar.
Hanya 2–3 jenis dari alat–alat ini digunakan untuk meramu Dupa, sisanya digunakan untuk memodifikasi panah.
Samara mengunci diri di kamar untuk meramu Dupa, Desi sering datang mengecek proses pembuatan Dupa, melihat Samara meramunya dengan serius, senyum senang terpancar di matanya.
Secara logika, semakin percaya Desi pada keampuhan Dupa, semakin baik.
Tetapi—–
Setiap kali dia melihat senyuman di mata Desi, hatinya tersiksa.
“Tabib, tunggu sampai Joseph tersadar, saya akan memberitahunya bahwa saya menyukainya.”
“Kamu...tidak pernah memberitahunya?” Samara bertanya penasaran.
“Iya, tidak pernah...” Desi tersenyum, air mata terkumpul di matanya, “Dia ingin membawaku pergi jauh, saya malah menertawakannya. Dia melindungiku berkali kali, saya malah tidak menghargainya, menyindirnya ikut campur. Tetapi saat sekujur tubuhnya berlumuran darah, saya hanya bisa melihat... melihatnya pelan pelan tertidur.”
Awalnya Samara mengira percintaan antara Desi dan Joseph sudah berbuah, tak disangka sampai ajal menjemput, Joseph tidak pernah memperoleh cintanya.
Detik ini...
Mendadak Samara teringat Asta.
Dia memiliki dendam yang harus dibalas, selain pada keluarga Wijaya, juga pada keluarga yang memiliki pengaruh yang lebih besar dari keluarga Wijaya.
Dia menganggap percintaan itu merepotkan, dan menghalangi jalannya untuk membalas dendam, sehingga dia selalu menolak cinta Asta.
Setelah mengantar Desi, Samara kembali serius meramu obat.
Joseph sudah meninggal, obat tidak berguna baginya, tentu saja Dupa juga tidak berguna
Dupa ini...
Orang mati tidak bisa menghirupnya, yang bisa menghirupnya tentu saja orang yang masih bernyawa.
Tinggal di kediaman Saputro selama seminggu penuh.
Setiap hari Samara mengunci diri di dalam kamar, pagi harinya meramu Dupa, malam harinya memodifikasi panah dan membuat dinamit.
Tanggal perjanjian dengan Desi tiba dengan cepat.
Samara mengambil Dupa ramuannya, dan masuk ke kamar berpeti itu.
“Desi, sebelumnya kita sudah berjanji, saya hanya akan melakukan akupunktur jika bisa melihat temanku.”
“Tentu saja.” Desi mengangguk kepala, “Pak Damar, undang Nona Alexy masuk.”
“Baik–––”
Tidak lama, Alexy berjalan masuk.
Alexy terlihat mengurus, wajahnya pucat pasi, Samara memeluknya, dan merasa sangat bersalah. Text property © Nôvel(D)ra/ma.Org.
“Lexy, maaf…semua gara-gara saya...”
“Untuk apa minta maaf? Saya tahu kamu pasti akan menyelamatkanku.”
Ketika memeluk Alexy, Samara memasukkan sebutir pil ke dalam sakunya, lalu menggunakan suara yang hanya bisa didengar mereka berdua.
“Nanti kulumlah pil ini di dalam mulut.”
“Ya.”
Setelah melonggarkan pelukan, Desi berkata: “Tabib, kamu sudah bertemu dengan temanmu, tolong penuhi janjimu.”
“Tidak masalah.” Samara menyapu pandangan ke sekeliling, lanjutnya, “Hanya saja, saya tidak suka terlalu banyak orang yang menyaksikan saat memasang dupa dan melakukan Akupunktur, selain saya sendiri, kamu dan temanku, yang lainnya tunggu di luar. Tanpa seizin kamu dan saya, siapapun tidak boleh masuk.”
“Baik.”
Pak Damar dan pelayan lainnya keluar dari kamar.
Di bawah tatapan Desi yang tak sabaran, Samara menyalakan Dupa herbal di tangannya.
Saat api mulai membakar Dupa, seluruh kamar dipenuhi aroma herbal yang ringan.