Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 325



Bab 325

Saat itu dirinya pikir Selena hanya bercanda, ternyata dia benar—benar belajar kedokteran dan mendaftar ke sekolah kedokteran.Material © NôvelDrama.Org.

Saat itu dirinya tidak merasa ada apa pun. Dia hanya merasa itu adalah omongan anak kecil yang polos. Sama seperti banyak anak yang mengatakan bahwa mereka ingin menjadi guru, astronot, atau pemadam kebakaran saat mereka dewasa.

Saat ini, ketika dia memikirkan wajah Selena yang sangat serius, hati Maisha terasa sakit seperti ditusuk jarum.

Dia berbaring di tempat tidur dan tanpa sadar teringat banyak kenangan lama yang telah dia buang ke sudut.

Dirinya tidak sengaja mengandung anak ini. Sejak hamil hingga melahirkan, dirinya tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap anak ini.

Wajah Selena tidak mirip dengan dirinya maupun dengan Arya, sehingga dirinya tidak merasa dekat.

Setelah dirinya melahirkan, Arya takut mengganggu istirahatnya, jadi menyerahkan Selena pada orang- orang di pusat pasca persalinan untuk dibantu.

Selena tidak pernah merasakan setetes ASI darinya, dia dibesarkan dengan susu formula sejak kecil. Syukurlah anak itu selalu sehat, dan jarang sakit saat kecil.

Justru kesedihan yang berkepanjangan membuainya terus—menerus sakit. Seluruh pikirannya tertuju pada kerinduan akan orang lama.

Dirinya sama sekali tidak pernah memerhatikan kapan anak itu tumbuh gigi, atau kapan pertama kali memanggil “ibu*.

Bahkan saat Selena belajar berjalan, dan dengan sempoyongan menabrak kaki dirinya, reaksi pertama dirinya bukan memeluknya, melainkan mendorongnya.

Meskipun dirinya bersikap dingin pada Selena, anak itu seperti tidak punya perasaan. Dia selalu menempel pada dirinya sejak kecil.

“Ibu, aku ingin makan kue beruang yang Ibu buat.”

“Ibu, aku akan memasak untukmu ketika aku besar nanti.”

“Ibu, sekolah akan mengadakan acara olahraga orang tua dan anak, Ibu bisa datang tidak?”

“Ibu, jangan sedih. Kamu akan segera sembuh, tunggu aku besar nanti jadi dokter, kamu nggak akan sakit lagi.” Bab 325

Saat itu dirinya pikir Selena hanya bercanda, ternyata dia benar—benar belajar kedokteran dan mendaftar ke sekolah kedokteran.

Saat itu dirinya tidak merasa ada apa pun. Dia hanya merasa itu adalah omongan anak kecil yang polos. Sama seperti banyak anak yang mengatakan bahwa mereka ingin menjadi guru, astronot, atau pemadam kebakaran saat mereka dewasa.

Saat ini, ketika dia memikirkan wajah Selena yang sangat serius, hati Maisha terasa sakit seperti ditusuk jarum.

Dia berbaring di tempat tidur dan tanpa sadar teringat banyak kenangan lama yang telah dia buang ke sudut.

Dirinya tidak sengaja mengandung anak ini. Sejak hamil hingga melahirkan, dirinya tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap anak ini.

Wajah Selena tidak mirip dengan dirinya maupun dengan Arya, sehingga dirinya tidak merasa dekat.

Setelah dirinya melahirkan, Arya takut mengganggu istirahatnya, jadi menyerahkan Selena pada orang- orang di pusat pasca persalinan untuk dibantu.m

Selena tidak pernah merasakan setetes ASI darinya, dia dibesarkan dengan susu formula sejak kecil. Syukurlah anak itu selalu sehat, dan jarang sakit saat kecil.

Justru kesedihan yang berkepanjangan membuainya terus—menerus sakit. Seluruh pikirannya tertuju pada kerinduan akan orang lama.

Dirinya sama sekali tidak pernah memerhatikan kapan anak itu tumbuh gigi, atau kapan pertama kali memanggil “ibu*.

Bahkan saat Selena belajar berjalan, dan dengan sempoyongan menabrak kaki dirinya, reaksi pertama dirinya bukan memeluknya, melainkan mendorongnya.

Meskipun dirinya bersikap dingin pada Selena, anak itu seperti tidak punya perasaan. Dia selalu menempel pada dirinya sejak kecil.

“Ibu, aku ingin makan kue beruang yang Ibu buat.”

“Ibu, aku akan memasak untukmu ketika aku besar nanti.”

“Ibu, sekolah akan mengadakan acara olahraga orang tua dan anak, Ibu bisa datang tidak?”

“Ibu, jangan sedih. Kamu akan segera sembuh, tunggu aku besar nanti jadi dokter, kamu nggak akan

sakit lagi.”

“Bu, minum airnya ya, Dokter bilang banyak minum air putih bisa lebih cepat sembuh. Ayo minum, nanti aku tuangkan lagi.” “ibu, aku sangat mencintaimu. Mengapa kamu nggak mau mencintaiku?”

“Ah! Aku tahu, pasti karena cintaku masih kurang, makanya Ibu tidak menyukai aku. Aku harus menjadi orang yang hebat, agar membuat Ibu bangga setiap hari.”

“Ibu, kamu sudah berjanii akan membawaku ke laman bermain. Ibu jangan pergi...

Air mata Maisha tidak bisa berhenti mengalir. Dia bahkan ingat suhu tangan kecil yang menempel di dahinya, dan matanya yang penuh kekhawatiran.

Maisha menyeka air matanya dengan asal—asalan, lalu mengangkat selimut dan turun dari tempat tidur. Dia berjalan selangkah demi selangkah menuju meja. Saat jarinya baru saja menyentuh cangkir, tiba- tiba pandangannya menjadi gelap.

Seiring dengan suara keras, gelas kaca dan dirinya terjatuh bersamaan ke lantai.

Tiba—tiba terdengar suara keras yang membuat Agatha tersentak. Agatha mengerutkan kening dan menatapnya dengan tidak senang.

“Apa yang kamu lakukan? Aku memperingatkanmu, aku bukan orang bodoh seperti ayahku yang akan percaya pada wanita seperti kamu. Cepat berdiri. Aku tidak akan termakan dengan trik memilukan ini.”

Maisha menghabiskan lebih dari sepuluh tahun untuk bersikap tulus pada Agatha, tetapi yang dia dapatkan adalah makian dari Agatha.

Dia membuka mulutnya untuk menjelaskan, “Aku tidak berpura—pura. Aku... tidak punya tenaga, tolong bantu aku berdiri.” “Tidak ada tenaga? Ha, aku lihat kamu cukup bertenaga ketika menggoda ayahku.”

Agatha menatap layar ponselnya yang hitam. Dia membuang ponselnya dan berdiri, melipat tangan di depan dada dan menatap Maisha dengan dingin. “Di sini tidak ada orang lain, jadi untuk apa kamu berpura—pura? Benar—benar seperti ibu seperti anak, sama busuknya. Ibunya murahan, anak perempuannya juga murahan.”

Air mata Maisha yang tertahan kembali mengalir, Agatha masih belum puas, bahkan menendangnya sekali. “Kamu menangis untuk siapa? Cepat berdiri!”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.